Oleh: Refnita, S.Pd., M.Pd*)
DI tengah derasnya transformasi pendidikan nasional, konsep deep learning atau pembelajaran mendalam hadir sebagai ruh baru yang diharapkan mampu mengubah wajah kelas di Indonesia.
Pendekatan ini tidak hanya menekankan penguasaan pengetahuan, tetapi juga penguatan kecakapan hidup, karakter, serta kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
Namun pertanyaan penting muncul: bagaimana pembelajaran mendalam diimplementasikan di sekolah luar biasa, khususnya bagi anak-anak dengan spektrum autisme?
Pertanyaan inilah yang menjadi titik awal ketika saya mendampingi guru-guru di SLB Autisma YPPA Padang. Sekolah ini memikul tanggung jawab besar agar murid tidak sekadar belajar, tetapi tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan mampu berkomunikasi.
Dua dimensi penting, kemandirian dan komunikasi, menjadi prioritas dalam Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana diamanatkan dalam Permendikdasmen No. 10 Tahun 2025.
Namun realitas di lapangan menunjukkan pembelajaran masih sering berhenti pada tataran konsep. Aktivitas belajar belum cukup terhubung dengan kehidupan nyata, sementara penguatan Profil Pelajar Pancasila belum sepenuhnya hadir dalam praktik harian.
Guru, meski sangat berdedikasi, masih membutuhkan jembatan untuk menerapkan pembelajaran mendalam secara konkret kepada murid autisme yang memiliki karakteristik unik.
Di sinilah strategi PIAWAI hadir sebagai terobosan: Pendekatan Inkuiri Kolaboratif berbantu WhatsApp, Google Site, Quizizz, dan AI.
PIAWAI bukan sekadar akronim, tetapi filosofi bahwa guru harus piawai, cakap, percaya diri, dan mampu, merancang pembelajaran yang benar-benar bermakna bagi murid istimewa mereka.
Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
Pendampingan dimulai dari satu kenyataan: pemahaman guru tentang pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan masih bervariasi. Sebagian merasa pembelajaran mendalam sulit diterapkan di SLB karena keterbatasan murid. Bahkan, mengajak murid belajar di luar kelas pun masih menimbulkan kekhawatiran.
Namun transformasi tidak akan terjadi jika kita terus terjebak pada batasan.
Melalui pendekatan inkuiri kolaboratif, saya mengajak kepala sekolah dan guru untuk bersama-sama mengidentifikasi tantangan, merumuskan solusi, dan menyepakati strategi. Coaching, refleksi, dan kolaborasi menjadi kunci perubahan.
Kegiatan IHT menjadi titik balik. Guru tidak hanya menerima teori, tetapi mengalami langsung pembelajaran mendalam. Mereka berdiskusi, merancang rencana pembelajaran, hingga memanfaatkan teknologi seperti AI, Quizizz, dan Google Site untuk memperkaya pengalaman belajar.
Dampaknya langsung terasa. Ketika guru keterampilan berkolaborasi dengan guru Bahasa Indonesia merancang pembelajaran berbasis praktik di kelas tata boga, murid-murid autis menunjukkan antusiasme luar biasa.
Menulis daftar belanja, pergi ke warung, hingga memasak bersama, semua menjadi pengalaman otentik yang mengasah kemandirian, komunikasi, dan rasa percaya diri.
Mereka bukan sekadar belajar membuat bihun goreng. Mereka belajar tentang hidup.
Dampak yang Terukur dan Nyata
Evaluasi menunjukkan perkembangan signifikan:
80% guru telah menerapkan prinsip pembelajaran mendalam.
85% guru konsisten menerapkan pengalaman belajar memahami, mengaplikasi, merefleksi.
Penggunaan praktik pedagogis semakin beragam.
Pemanfaatan teknologi digital meningkat.
Budaya kolaborasi antar guru semakin kuat.
Keterlibatan orang tua pun meningkat. Melalui Google Form dan Google Site, komunikasi dua arah menjadi lebih intens. Orang tua mulai diajak berbincang dengan anak tentang apa yang dipelajari di sekolah—proses yang sekaligus memperkuat kedekatan emosional dan kemampuan berkomunikasi anak.
Proses ini tentu panjang dan tidak sederhana. Anak-anak autisme memiliki kemampuan yang sangat beragam. Mereka sering perlu dipancing dengan pertanyaan sebelum bisa merespons. Kadang jawabannya tidak sesuai, sehingga percakapan harus diulang atau disederhanakan. Namun justru di situlah progres kecil yang bermakna muncul.
Menariknya, terjadi pula efek domino: penguatan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7KAIH), terutama aspek bermasyarakat. Pembelajaran bergerak dari ruang kelas menuju ruang hidup murid.
Ki Hajar Dewantara sejak lama mengingatkan bahwa perkembangan anak tidak hanya ditentukan oleh guru, tetapi oleh seluruh ekosistem pendidikan. Pendampingan ini membuktikan kebenaran itu.
Kepala sekolah tampil sebagai pemimpin pembelajaran.
Guru berperan sebagai aktivator dan kolaborator.
Orang tua menjadi mitra strategis.
Teknologi menjadi pengungkit perubahan.
Helen Keller menggambarkan ruh kolaborasi ini dengan sangat tepat:
“Alone you can do so little, but together you can do so much.”
Memanusiakan Anak-Anak Istimewa
Strategi PIAWAI bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang menuju pembelajaran mendalam di SLB Autisma YPPA Padang. Pendekatan ini membuktikan bahwa murid autisme pun dapat belajar secara bermakna—sepanjang guru diberi ruang, dukungan, dan pendampingan yang tepat.
Kita harus terus percaya bahwa setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, berhak merasakan pembelajaran yang menghidupkan, membahagiakan, dan memampukan mereka untuk mandiri.
Semoga kolaborasi ini terus tumbuh, guru semakin piawai, murid semakin mandiri, dan SLB Autisma YPPA Padang menjadi contoh praktik baik pendidikan inklusif yang benar-benar memanusiakan manusia. []
Penulis adalah Pengawas Disdik Provinsi Sumatera Barat




