Oleh : Alirman Sori*)
Di dalam berbagai diskursus mengenai politik oligarki dalam konteks demokrasi Indonesia merupakan salah satu tema yang mendapatkan perhatian serius dalam kajian ilmu politik kontemporer.
Sejak era reformasi 1998, Indonesia secara formal telah meninggalkan sistem otoritarian menuju sistem demokrasi konstitusional berbasis kedaulatan rakyat. Tetapi, transisi demokrasi tidak sepenuhnya menghadirkan praktik praktik politik yang mencerminkan idealitas demokrasi.
Justru, berbagai penelitian menunjukkan bahwa Indonesia mengalami fenomena oligarchic capture, yaitu kondisi ketika institusi demokrasi dibajak oleh kelompok kecil yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, atau jaringan patronase yang kuat.
Keadaan ini menghadirkan paradoks, sebab demokrasi yang secara formal menegaskan prinsip kedaulatan rakyat justru dijalankan melalui mekanisme yang dikuasai oleh elite ekonomi-politik tertentu. Oligarki di Indonesia menjadi semakin mencolok karena struktur ekonomi politik masih mengarah pada konsentrasi kekayaan, kepemilikan sumber daya, serta kekuasaan di tangan segelintir kelompok, terutama mereka yang memiliki akses langsung terhadap pengambilalihan sumber-sumber strategis negara.
Di sisi lain, Demokrasi Pancasila sebagai normatif kehidupan bernegara menghadirkan kerangka etis dan filosofis yang menekankan prinsip kedaulatan rakyat, musyawarah, keadilan sosial, dan kemanusiaan sebagai landasan penyelenggaraan politik.
Dalam perspektif ini, politik tidak boleh hanya dipahami sebagai perebutan kekuasaan, melainkan juga sebagai wahana mencapai kesejahteraan umum dan menjaga keutuhan bangsa.
Pancasila menekankan konsep demokrasi substantif, bukan sekadar prosedural, karena mengintegrasikan nilai moral, etika politik, dan tujuan kolektif yang menyejahterakan seluruh rakyat. Ketika praktik oligarki menguat, maka ketercapaian demokrasi substantif tersebut secara langsung menghadapi ancaman serius.
Kajian ini akan mengelaborasi bagaimana politik oligarki hadir, berkembang, dan membentuk lanskap demokrasi Indonesia, serta bagaimana idealitas Demokrasi Pancasila dapat memberikan koreksi normatif terhadap dominasi oligarki tersebut.
Pendekatan teoritis digunakan untuk melihat hubungan antara struktur kekuasaan oligarkis dan nilai-nilai fundamental Pancasila, sehingga diperoleh gambaran mengenai sejauh mana oligarki menghambat pencapaian demokrasi yang bercirikan keadilan, partisipasi, dan egalitarianisme.
Kerangka Teoritis: Oligarki dan Demokrasi
Secara teoritis, oligarki dipahami sebagai suatu sistem politik yang dikendalikan oleh kelompok kecil yang memiliki kekuatan signifikan dalam ekonomi maupun politik.
JeƯ rey Winters, salah satu tokoh terkemuka dalam studi oligarki Indonesia, menjelaskan bahwa oligarki modern tidak lagi selalu berbasis aristokrasi tradisional, tetapi terbentuk melalui konsentrasi kekayaan dan kapital yang memberikan kemampuan kontrol terhadap institusi politik.
Oligark memiliki kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan publik, menentukan arah politik, dan memproteksi kepentingannya melalui penggunaan kekuatan material yang dimiliki. Dalam perspektif Winters, oligarki tidak harus sepenuhnya menguasai negara; yang terpenting adalah kapasitas mereka untuk memaksakan preferensi politik yang menguntungkan kepentingannya.
Teori oligarki klasik, seperti yang diungkapkan oleh Robert Michels melalui Iron Law of Oligarchy, menyatakan bahwa setiap organisasi, termasuk organisasi demokratis, pada akhirnya akan berkembang menjadi struktur oligarkis.
Hal ini disebabkan oleh adanya konsentrasi kepentingan, kemampuan teknis, dan penguasaan informasi oleh elite organisasi.
Michels menegaskan bahwa meskipun demokrasi berupaya menghadirkan mekanisme partisipatif, dalam praktiknya kekuasaan tetap terkonsentrasi pada minoritas yang lebih terorganisasi dan terampil.
Teori Michels menjadi relevan ketika melihat bagaimana partai politik di Indonesia mengalami kecenderungan oligarkis, baik melalui kepemilikan politik oleh elite partai maupun hubungan erat antara pemodal dan petinggi politik.
Secara lebih luas, teori demokrasi liberal mengasumsikan bahwa kompetisi politik, pemilihan umum, kebebasan sipil, dan akuntabilitas merupakan indikator demokrasi yang sehat.
Namun dalam konteks negara berkembang, proses demokratisasi justru memberikan ruang bagi aktor-aktor ekonomi untuk masuk lebih dalam ke gelanggang politik melalui “politik uang” dan patronase.
Akibatnya, demokrasi hanya menjadi arena perebutan keuntungan antara elite, bukan arena deliberasi publik. Di Indonesia, demokrasi prosedural berjalan, tetapi substansinya banyak dipengaruhi oleh kalkulasi elite.
Bertentangan dengan kecenderungan oligarkis tersebut, teori demokrasi Pancasila menekankan bahwa kekuasaan harus berakar pada nilai-nilai luhur yang mengutamakan kepentingan rakyat, keadilan sosial, dan musyawarah mufakat.
Berbeda dengan demokrasi liberal yang menonjolkan kompetisi, demokrasi Pancasila memprioritaskan
kerja sama, kebersamaan, harmoni, dan integrasi sosial. Demokrasi ini tidak hanya melihat rakyat sebagai pemilih, tetapi sebagai subjek utama yang menentukan arah negara.
Dalam konteks ini, politik oligarki dianggap sebagai deviasi fundamental karena menempatkan kepentingan segelintir elite di atas kepentingan kolektif bangsa.
Politik Oligarki dalam Realitas Demokrasi Indonesia
Fenomena politik oligarki di Indonesia berkembang kuat setelah reformasi. Pembukaan ruang kebebasan politik, otonomi daerah, dan liberalisasi ekonomi justru menghadirkan peluang bagi kelompok-kelompok bermodal besar untuk memanfaatkan institusi demokrasi demi kepentingan mereka.
Di tingkat pusat, oligarki kerap terlibat dalampendanaan pemilu, pengaruh terhadap partai politik, dan penentuan kandidat-kandidat strategis. Dalam konteks pemerintah daerah, muncul fenomena dinasti politik yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan politik tidak hanya berlangsung melalui
mekanisme demokrasi prosedural, tetapi juga melalui ikatan keluarga dan patronase.
Dinasti politik sering kali menjadi pintu masuk bagi oligarki lokal untuk memperkuat kedudukan ekonomi-politik mereka.
Partai politik sebagai instrumen utama demokrasi justru menjadi kendaraan bagi oligarki. Banyak partai dikuasai oleh elite tertentu yang mempunyai kendali atas sumber pendanaan, jaringan kekuasaan, serta proses penentuan calon legislatif maupun kepala daerah.
Akibatnya, proses demokrasi internal partai menjadi tidak berjalan, dan partai hanya menjadi instrumen pengendali kekuasaan. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami “oligarchization of politics”, di mana elite politik yang berkolaborasi dengan pemilik modal menentukan agenda politik negara.
Salah satu manifestasi oligarki yang sangat terlihat adalah mahalnya biaya kompetisi elektoral. Sistem pemilu yang menerapkan proporsional terbuka menyebabkan kandidat politik membutuhkan modal besar untuk membiayai kampanye, sosialisasi, hingga aktivitas promosi.
Situasi ini membuat aktor politik sangat bergantung pada para pemodal besar yang pada gilirannya menuntut akses terhadap kebijakan dan sumber daya negara. Politik balas budi, korupsi kebijakan, serta persekongkolan politik-ekonomi menjadi masalah sistemik yang melemahkan kualitas demokrasi.
Selain itu, oligarki di Indonesia tidak hanya beroperasi di tingkat formal, tetapi juga dalam jaringan informal. Hubungan patron-klien antara elite ekonomi dan elite politik memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat dibangun melalui hubungan personal, loyalitas, dan timbal balik.
Struktur ekonomi Indonesia yang masih dikuasai sekelompok konglomerat juga memperkuat oligarki karena kekuatan ekonomi tersebut dapat digunakan untuk membentuk opini publik melalui media massa, mengendalikan aliran informasi, hingga mempengaruhi arah kebijakan negara.
Dalam konteks ini, oligarki berfungsi sebagai kekuatan yang “membajak” institusi demokrasi.
Demokrasi Pancasila sebagai Kerangka Normatif Kritis terhadap Oligarki
Demokrasi Pancasila menyediakan fondasi normatif untuk melawan dominasi oligarki. Prinsip kedaulatan rakyat menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh rakyat, bukan segelintir elite.
Dalam Pancasila, demokrasi tidak dimaknai sekadar sebagai proses memilih pemimpin, tetapi juga sebagai mekanisme yang harus memastikan keadilan sosial, pemerataan sumber daya, dan perlindungan terhadap seluruh warga negara. Maka, kehadiran oligarki jelas merupakan ancaman terhadap nilai dasar Pancasila.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, menegaskan bahwa praktik demokrasi harus berdasar pada hikmat dan kebijaksanaan kolektif, bukan dominasi modal.
Musyawarah mufakat mengandung prinsip deliberative democracy dalam konteks Indonesia, di mana keputusan politik harus dihasilkan melalui pertimbangan rasional, etis, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam perspektif ini, politik uang, intervensi pemodal, dan dominasi elite jelas merupakan bentuk penyimpangan dari nilai demokrasi Pancasila.
Lebih jauh, sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menghadirkan tuntutan moral bahwa negara harus hadir untuk memastikan distribusi kesejahteraan yang merata. Oligarki secara inheren menghasilkan ketimpangan ekonomi dan sosial karena kekuasaan ekonomi terpusat pada minoritas.
Ketimpangan tersebut pada akhirnya melahirkan ketimpangan politik, sebab akses terhadap kekuasaan menjadi didominasi oleh elite kaya. Dalam perspektif Pancasila, keadilan sosial tidak dapat
tercapai selama oligarki masih mengendalikan kebijakan dan institusi politik.
Demokrasi Pancasila juga menekankan pentingnya etika politik berdasarkan nilai kemanusiaan. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, menuntut agar relasi politik tidak diwarnai penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi, atau subordinasi kelompok lemah oleh kelompok yang lebih kuat.
Oligarki bertentangan langsung dengan nilai ini karena keberadaannya berbasis pada dominasi dan kontrol segelintir elite atas mayoritas rakyat.
Dengan demikian, Pancasila memberikan instrumen normatif untuk menilai bahwa dominasi oligarki merupakan bentuk “penyakit” sosial-politik yang harus diatasi agar demokrasi Indonesia dapat berfungsi secara substantif. Kritik terhadap oligarki dalam perspektif Pancasila tidak hanya bersifat moral, tetapi juga konstitusional, sebab Pancasila adalah dasar negara dan sumber hukum yang mengikat.
Implikasi Oligarki terhadap Demokrasi Pancasila
Kehadiran oligarki membawa implikasi serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. Salah satu implikasinya adalah menurunnya kualitas representasi politik. Ketika elite politik dipilih bukan berdasarkan kapasitas, tetapi karena kekuatan finansial, maka representasi demokratis menjadi lemah. Rakyat kehilangan figur pemimpin yang benar benar memperjuangkan kepentingan mereka.
Sebaliknya, negara mudah terjebak pada kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, seperti kebijakan sektor sumber daya alam, pertanahan, atau perizinan bisnis.
Selain itu, oligarki memperlemah legitimasi demokrasi. Ketika rakyat merasa bahwa demokrasi hanya menguntungkan elite tertentu dan tidak menghadirkan kesejahteraan, maka kepercayaan publik terhadap demokrasi akan menurun.
Hal ini berpotensi menghadirkan ruang bagi munculnya populisme, otoritarianisme, atau kepemimpinan
yang anti-demokrasi. Demokrasi tanpa substansi selalu berada dalam ancaman involusi politik menuju sistem yang lebih tertutup.
Implikasi lainnya adalah melemahnya supremasi hukum. Ketika oligarki memiliki akses terhadap lembaga penegak hukum, maka proses hukum sering kali tidak berjalan secara adil. Korupsi sulit diberantas karena para oligark menggunakan kekuatan ekonomi dan politik untuk melindungi diri dari jerat hukum. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dalam Pancasila.
Fenomena politik oligarki dalam demokrasi Indonesia merupakan tantangan serius bagi pembangunan demokrasi substantif yang berlandaskan Pancasila. Oligarki menghambat realisasi kedaulatan rakyat, merusak kualitas representasi, melemahkan supremasi hukum, dan mengancam keadilan sosial.
Sebaliknya, Demokrasi Pancasila menawarkan kerangka normatif yang menekankan musyawarah, keadilan, kesetaraan, dan moralitas politik sebagai fondasi kehidupan kenegaraan.
Agar demokrasi Indonesia dapat keluar dari cengkeraman oligarki, diperlukan upaya struktural dan kultural: reformasi sistem pendanaan politik, penguatan demokrasi internal partai, pemberantasan politik uang, pemberdayaan masyarakat sipil, serta internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam seluruh proses politik.
Tanpa langkah-langkah tersebut, demokrasi Indonesia berpotensi hanya menjadi demokrasi prosedural yang dikuasai elite, dan jauh dari cita-cita luhur yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa politik oligarki bukan hanya persoalan teknis dalam demokrasi, melainkan juga persoalan filosofis yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental Demokrasi Pancasila.
Pancasila memberikan arah moral, epistemologis, dan konstitusional untuk mengoreksi kecenderungan oligarkis demi terwujudnya demokrasi yang sejati: demokrasi yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. []
Penulis adalah Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI dan Ketua Dewan Redaksi www.fokussumbar.com*)




