Cerpen : Desvera Inge Kusuma*)
Pagi itu Reni membuka pagar rumahnya yang bercat hitam di sebuah perumahan. Ia bersiap mengeluarkan sepeda motornya untuk mengantar Aura, putri sulungnya berangkat ke sekolah. Aura bersekolah di Taman Kanak-Kanak di sekitar wilayah tersebut.
Saat ini anak perempuan manis itu menjadi siswi kelas B. Tepat jam tujuh pagi, Aura sudah siap dengan seragam kuning kotak-kotak dengan jilbab senada. Sebuah tas merah muda bergambar Hello Kitty tercangklong di bahunya.
Tak lama ia mengambil sepatu berwarna senada dengan tasnya dan mengenakannya dengan hati-hati. Maklum, sepatu itu penuh dengan tali temali yang cukup ribet untuk anak seumurnya. Sewaktu membeli sepatu itu, ibunya sudah memperingatkan agar tidak memilih model tersebut.
Tapi namanya anak-anak, kalau sudah suka susah diberitahu apalagi jika itu warna favoritnya. Tak lama, ia sudah siap dan bergegas mendekati ibunya yang kini tengah memanaskan motor putihnya.
“Ayo naik, Kak. Kita harus cepat sebelum Dik Nina bangun.”
Gadis kecil itu mengangguk dan naik ke jok belakang. Ibunya langsung tancap gas dan meluncur melewati perumahan mereka. Jalanan mulai ramai dengan aktivitas para penghuninya yang berangkat sekolah atau ke kantor.
Perumahan mereka terbilang sederhana dan hanya memiliki beberapa unit. Berada di perbatasan antara dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Banten, membuat moda transportasi kian ramai. Di sepanjang jalan berseliweran sepeda, sepeda motor, mobil, dan tak jarang truk-truk pengangkut.
Bahkan akhir-akhir ini terlihat banyak sepeda listrik yang penggunanya adalah ibu-ibu pengantar sekolah dan remaja. Motor mereka tiba di sekolah lima belas menit sebelum bel berbunyi. Aura segera turun dan pamit pada ibunya. Tak lupa ia mencium tangan sang ibu. Ibunya tersenyum dan meninggalkan gadis kecil itu yang kini menghambur ke dalam kelas bersama teman-temannya.
Begitu sampai di rumah, anak bungsunya yang berusia dua tahun masih tertidur pulas. Kepalanya beralaskan bantal berwarna hijau dengan gambar kodok yang merupakan karakter tokoh kartun anak terkenal.
Bantal kodok tadi harus ada saat ia hendak tidur. Jika tidak, ia akan rewel tak hentinya yang terkadang membuat Reni kewalahan. Tak lama, ia bergegas menuju tumpukan baju kotor dan segera menyalakan mesin cuci untuk membereskan itu semua. Begitu mesin cuci bekerja, ia segera mengambil sapu dan kain pel untuk menbersihkan seluruh area rumah.
Setelah semua terlihat rapi, ia beranjak ke dapur untuk membuat sarapan sekaligus makan siang. Begitu melihat tempat peyimpanan beras, matanya terbelalak. Beras yang tersisa hanya bisa dimasak untuk hari itu.
Itu artinya ia harus segera membeli beras. Hatinya ketar-ketir. Kini ia menimbang kebutuhan mana yang harus didahulukan. Penghasilannya sebagai guru les di sebuah lembaga pendidikan bahasa jauh dari kata cukup untuk menghidupi dirinya dan kedua anak perempuannya.
Dengan lemas, ia akhirnya menghabiskan beras itu, mencucinya dan memasukkannya ke dalam penanak nasi. Hatinya tiba-tiba perih. Tak pernah ia bayangkan pernikahannya berakhir seperti ini. Tak pernah ia harapkan ada duri dalam biduk rumah tangganya.
Namun nasi sudah menjadi bubur, suaminya kini pergi entah ke mana seiring kehadiran wanita lain dalam kehidupan mereka. Ia hanya bisa pasrah, mengikhlaskan sambil mencoba mengais rejeki.
“Mungkin memang bukan jodohku. Dan aku yakin ada hikmah di balik ini semua,” gumamnya lirih sambil membersihkan kaca jendela ruang tamu.
Tangisan pelan terdengar dari kamar. Rupanya Nina sudah bangun dan merasa kehilangan ibunya. Reni segera menghentikan aktivitasnya dan menghampiri si Bungsu. Ia merengkuh tubuh kecil itu dan menggendongnya.
“Cup, cup … Nina tak usah nangis, Bunda ada di sini.”
Ajaib, bocah kecil itu langsung terdiam dan tersenyum begitu melihat ibunya. Reni lantas mendudukkannya di depan televisi dan menanyakan apa yang ingin ia makan atau minum.
“Susu dan biskuit coklat, Bun.”
“Baik, sayang. Tunggu sebentar ya, makanan segera tiba.”
Nina terlihat asyik mengunyah biskuit coklatnya saat Reni melihat jam dinding. Sebentar lagi Aura akan pulang dan ia harus segera menjemputnya. Tak lama, Nina pun ia mandikan dan diajak ke TK tersebut.
“Halo Kak Aura,” sapa Nina begitu kakaknya terlihat di antara siswa siswi berseragam kotak kuning yang baru saja keluar kelas. Begitu melihat ibu dan adiknya menjemput, Aura segera pamit pada teman-temannya dan menghampiri keduanya.
“Hai, Dik. Kok Adik rapi sekali, mau ke mana memangnya?”
“Kita akan pergi ke toko swalayan untuk membeli beras, Kak. Ayo segera naik.”
“Asyik, kita mau belanja! Kita sudah lama tidak ke toko swalayan, Bun. Kakak boleh beli banyak cemilan nggak?”
Hati Reni menciut. Ia tak tega menjawab pertanyaan putri sulungnya itu. Uangnya hanya cukup untuk membeli beras. Bahkan untuk lauk hari ini pun ia tak tahu dari mana. Semenjak suaminya raib setahun lalu, ia yang harus menanggung ini semua.
Dan malam itu pula terakhir mereka ke toko swalayan bersama-sama sebelum paginya ia menemukan surat perpisahan dari suaminya. Tahun demi tahun yang ia pertahankan, sakit dan perih yang ia pendam, ternyata tak mampu menahan kepergian seseorang yang ia pilih menjadi tambatan hati. Sejenak, ia tepis kenangan itu dan mencoba tersenyum menanggapi mereka.
“Tentu saja boleh! Untuk anak-anak Bunda, hari boleh beli apapun sesukanya. Hari ini adalah milik kalian.”
“Hore … terimakasih Bunda.”
Yang terdengar kemudian adalah bunyi knalpot motor putih mereka yang kini melaju keluar komplek menuju salah satu toko swalayan.
***
Sore hari, di rumah Reni sudah berkumpul anak-anak setempat yang ikut les BTQ (Baca Tulis Qur’an) bersamanya. Ia sendiri adalah lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dari sebuah universitas ternama di kota itu.
Reni adalah ibu muda yang pintar, baik hati dan tegar. Berbagai masalah hidup yang ia hadapi tak menyurutkan komitmennya untuk terus mengajar dan membagikan ilmu. Hampir seluruh anak-anak di komplek perumahan tersebut mengaji di rumahnya.
Sesi pembelajaran dibagi menjadi dua kelas, yakni yang berusia kanak-kanak pada pukul tiga sampai lima sore dan yang remaja pada saat setelah Magrib sampai menjelang Isya. Anak-anak remaja sendiri tidak lagi membaca Iqro seperti kelas sore, melainkan tadarus surat-surat pendek.
Hal ini disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sebelum les BTQ di rumahnya dibuka, sebelumnya ia juga mengajar bahasa les Bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan bahasa terdekat. Dari sinilah ia bisa bertahan hidup bersama kedua putrinya.
“Pendidikan adalah senjata ampuh untuk mengubah dunia.” (Nelson Mandela)
Kata-kata itu begitu memotivasinya sehingga ia tak mudah menyerah. Ia harus memperbaiki dan menyejahterakan keluarganya walau pincang kini. Ditengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, pengajar les dan penjual produk online, ia tak pernah melewatkan waktu untuk terus belajar.
Ia adalah penyuka buku filsafat, ekonomi dan tentu saja kitab sucinya, yakni Al-Qur’an. Di sepertiga malam, ia selalu bangun untuk mendirikan sholat Qiyamul Lail dan membaca ayat-ayat suci minimal satu lembar. Doa-doa mohon ampunan, diberi kekuatan dan jalan rejeki selalu ia hajatkan pada sang pemilik alam semesta.
Reni pasrah dan menyerahkan hidup matinya pada ketentuan-Nya. Tuhan pasti tahu yang terbaik termasuk. Saat ini ia dititipkan amanah untuk menjadi seorang ibu dan juga guru. Pastilah ada alasan mengapa Allah memberikan kisah hidup seperti yang ia alami sekarang. Dengan selalu berpikir positif pada tuhannya, ia bisa lebih tenang menjalani semuanya.
***
Surat itu ditujukan untuk dirinya. Nama Reni Nuraini tertera pada amplop yang berwarna broken white itu. Tergeletak di meja teras yang rupanya di taruh kurir saat ia sedang tidak ada di rumah. Tampak terlihat lambang universitas terkenal dari negeri kangguru di ujung kiri amplop.
Melihat itu, hatinya langsung deg-degan. Benarkah itu untuknya? Ia memang beberapa kali mengajukan beasiswa S2 di berbagai universitas, termasuk di negara tetangga. Dari salah satu media sosial, ia melihat iklan beasiswa di Australia yang mendapatkan fasilitas bisa membawa anak.
Sewaktu mengajukan itu, ia sendiri tidak yakin akan diterima. Demi mengatasi rasa penasaran, ia segera mengambil surat itu dan membukanya. Surat itu ditulis dalam bahasa inggris. Alangkah terkejutnya ia melihat namanya tertera di situ sebagai penerima beasiswa tersebut.
Ia diminta untuk segera mengurus segalanya. Tubuhnya langsung roboh dan bersujud syukur. Matanya basah oleh cucuran air mata yang deras tiada hentinya. Kali ini air mata bahagia, setelah sekian lamanya.
Dengan terisak-isak ia baca detail surat itu sebelum masuk ke dalam rumah. Anak-anaknya tengah asyik bermain air di kolam renang plastik di halaman belakang. Ia menghampiri dan menciumi keduanya. Kedua anaknya itu diperbolehkan ikut bersamanya ke negeri tersebut.
Melihat ibu mereka basah akibat memeluk kakak beradik itu, keduanya mengajak wanita berusia tiga tahun itu untuk bermain basah-basahan bersama. Ada bahagia di sana. Ada syukur di sana. Bagi Reni, keluargalah harta paling berharga dalam hidupnya. Dan dia bertekad untuk memperjuangkan kebahagiaan kedua anaknya tadi.
***
Rawakalong, 31 Oktober 2025
Biodata :*)
Desvera Kusuma atau lengkapnya Desvera Inge Kusumadewi, S.Sos adalah seorang penyuka seni terutama sastra dan musik. Sedari kecil ia sudah suka menyanyi, menulis lirik dan membaca buku. Ibu dari tiga orang anak ini adalah alumnus Universitas Indonesia jurusan Sosiologi tahun 1999 yang latar belakangnya adalah menulis non fiksi. Menulis fiksi mulai ia seriusi sejak memutuskan untuk keluar dari kerja kantoran yang sudah ditekuni selama 9 tahun.
Desvera telah menulis 11 buku antologi yang di cetak oleh beberapa penerbit indie dan juga 6 buku solo, yaitu :
- Email Asmara (novel, 2022)
- Selaksa Makna (novel, 2024)
- Yang Kuinginkan (Kumpulan Cerpen, 2022)
- Yang Kuharapkan (Kumpulan Cerpen, 2022)
- Yang Kulewatkan (Kumpulan Cerpen, 2022)
- Bacalah, Tulislah (Kumpulan Puisi, 2022)
Ia juga aktif menulis lagu yang bisa di dengarkan di kanal Youtube : Desvera Kusuma atau di Spotify : Desvera Kusuma.




