Pensiunkan Semua Jenderal Polisi

Oleh : Miko Kamal*)

Kapolri Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat (gercep). Presiden Prabowo baru berencana membentuk Komite Reformasi Polri, beliau lebih dulu membentukya. Tim Transformasi Reformasi Polri dibentuknya melalui Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025. Ditandatangani pada 17 September 2025 (Kompas.com, 22/9/2025).

Tim beranggotakan 52 orang polisi aktif. 5 orang perwira menengah, dan 47 orang lainnya berpangkat jenderal. Mulai dari bintang 1 sampai bintang 4. Posisinya di Tim ada yang sebagai pelindung, penasehat, pengarah dan pelaksana.

Pelindung Tim Kapolri Jenderal Sigit sendiri. Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo sebagai penasehat. 4 orang jenderal bintang 3 didudukkan sebagai pengarah.

Pelaksananya (Ketua Tim) adalah Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Chrysnanda Dwilaksana. Beliau dibantu 40 jenderal, berbintang 2 dan 1 serta 5 orang perwira menengah.

Ada yang pro dan kontra dengan Kapolri yang gercep. Tidak apa-apa. Yang pro dan kontra terus sajalah berdiskusi. Menyalakan api, agar tungku gagasan reformasi Polri tetap hidup. Biar rencana reformasi Polri benar-benar menemukan jalannya yang benar.

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD berpendapat, ada tiga hal yang perlu direformasi di tubuh kepolisian. Disebutnya sebagai tiga pilar, yaitu pilar struktural, instrumental dan kultural.

Kata Mahfud, struktural menyangkut kelembagaan. Instrumental bersinggungan dengan aneka aturan. Kultural terkait dengan praktik-praktik menyimpang yang selama ini terjadi di tubuh kepolisian. Misalnya, perlindungan terhadap penjahat, praktik nepotisme dalam jabatan, mutasi anggota yang tidak transparan, kenaikan pangkat dan rekrutmen perwira yang dilakukan secara salah (Antara, 26/9/2025).

Menurut saya, diantara yang tiga itu, yang terakhir (kultural) yang paling paling penting, paling rumit, paling sulit dan paling mendesak untuk dibereskan. Reformasi struktural dan instrumental kaji menurun saja itu.

Soal kultur buruk polisi bukan yang disebutkan Mahfud saja. Banyak lagi yang lain, yang saban hari terjadi di depan mata dan terdengar nyaring di telinga.

Tentang praktik penerimaan masuk polisi, misalnya. Cerita “bayar-bayar” masuk polisi sudah jadi rahasia umum. Sulit membantahnya. Yang masuk tanpa bayar tentu ada. Tapi jumlahnya tidak seberapa.

Perangai buruk polisi di lapangan juga sudah biasa. Banyak sekali ragamnya.

Suatu hari saya menerima pesan langsung di akun Instagram. Ceritanya, pengirim pesan melaporkan bahwa dia terjaring razia lalu lintas dan disuruh menyetorkan sejumlah uang (denda) ke akun bank pribadi.

Awalnya dia protes dan menolak permintaan aneh itu. Katanya, kok pembayaran denda resmi ke rekening pribadi.

Petugas menjawab dengan enteng: memang begitu aturannya.

Karena tidak ingin membuang-buang waktu untuk berdebat, dengan dongkol dia mentransfer sejumlah uang ke rekening yang disodorkan. Bukti transfer diserahkannya kepada saya.

Informasi itu saya sampaikan ke kapolresta. Sampai hari ini tidak ada tindak lanjutnya. Sepertinya, kapolresta sudah menganggapnya sebagai hal biasa saja.

Soal kultur menyimpang ini juga berlaku dalam hal kekayaan para polisi. Polisi punya kekayaan melimpah biasa saja.

Saya memeriksa satu persatu harta kekayaan perwira-perwira tinggi polisi yang namanya masuk dalam Tim Transformasi Reformasi Polri. Ada yang melaporkan harta kekayaannya, ada yang tidak. Ada laporan yang sudah diperbaharui ada pula yang belum.

Salah seorang anggota Tim punya kekayaan hampir Rp. 61 Miliar, terdiri dari tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin, dan kas dan setara kas. Laporan dibuatnya pada tanggal 4 Januari 2021 untuk periode laporan 2020. Terkategori sebagai laporan yang belum diperbaharui.

Dari data, yang bersangkutan jadi polisi selama lebih kurang 32 tahun. Dengan begitu, rata-rata dalam 1 tahun, yang bersangkutan mengumpulkan harta sekitar Rp. 1,9 M. Dan, dalam satu bulan (rata-rata), harta yang dikumpulkannya sekitar Rp. 158 Juta.

Besar? Iya, memang besar. Ingat, Itu pendapatan bersih, setelah dikurangi seluruh biaya hidup yang bersangkutan dan keluarganya selama 32 tahun. Sudah dikurangi biaya makan dan minum. Sudah pula dipotong uang beli baju, celana, celana dalam dan sejenisnya selama 32 tahun.

Tertegun membaca angka itu? Angka itu memang berlebihan ketika itu disandingkan dengan pendapatan resmi seorang polisi. Gaji dan tunjangan polisi memang bisa dihitung dengan rumus matematika paling sederhana.

Tapi, bagi sebagian besar petinggi polisi, itu bukan hal ganjil. Wajar-wajar saja. Buktinya, sampai sekarang tidak ada sanksi yang dijatuhkan untuk perwira tinggi itu. Jangankan sanksi, sebaliknya yang bersangkutan diberi kehormatan mereformasi institusinya.

Jika Presiden dan kita semua serius mereformasi Polri, mulailah dengan reformasi kultural. Dimulai dengan mempensiunkan semua jenderal yang ada. Alasannya sederhana, sebagian besar jenderal yang sedang berada di tampuk pimpinan Polri merupakan penikmat kultur buruk yang sedang eksis.

Kalimat pendek ini bisa jadi landasan pentingnya reformasi struktural didahulukan: sistem yang baik akan hancur bila dijalankan oleh orang-orang tidak baik. []

Advokat dan Wakil Rektor III Universitas Islam Sumatera Barat*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *