DI sebuah jorong terpencil bernama Tanjung Balik Sumiso, sekitar tiga jam perjalanan dari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, melewati jalan tanah berbukit dan licin, ada seorang perempuan yang setiap pekannya membawa harapan dalam tasnya.
Namanya Noni Suzelvi, S.Pd.I, guru PPPK yang sejak tahun 2022 memilih untuk tetap bertahan mengajar di tempat yang bahkan listrik pun baru sebatas “menyala saat sore”.
Bagi banyak orang, pilihan itu mungkin terdengar ekstrem. Tapi bagi Noni, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini panggilan.

Sebelum ditempatkan di SDN 11 Tanjung Balik Sumiso, Noni sudah menghabiskan 15 tahun hidupnya sebagai guru honorer di SDN 07 Sirukam. Namun ketika formasi PPPK tidak tersedia di sekolah induknya, ia harus mengambil keputusan sulit. Noni mendaftar di sekolah yang jaraknya 12 km lebih dalam hutan, dengan akses jalan tanah dan tanpa listrik PLN.
“Saya mengajar sejak 2022 di sini. Awalnya saya tinggal di Tanjung Balik bersama ibu dan anak-anak. Suami saya yang sopir bus harus bolak-balik,” ceritanya.
Namun awal 2024 bencana longsor datang, memutus akses mobil selama berbulan-bulan. Anak-anak dan ibunya pun terpaksa kembali ke Sirukam, sementara Noni tetap harus mengajar, pergi-pulang setiap minggu melewati jalan yang saban hujan berubah seperti bubur tanah.
SDN 11 Tanjung Balik Sumiso bukan sekolah besar. Jumlah siswanya hanya 21 orang dari sekitar 40 kepala keluarga yang tinggal di jorong tersebut.
Namun sekolah kecil itu adalah satu-satunya cahaya pendidikan di wilayah itu. Bila ditutup, anak-anak harus bersekolah ke tempat lain sejauh 12 km jalan tanah, yang bagi anak usia SD, hampir mustahil ditempuh setiap hari.
Di sekolah ini, Noni mengajar dua kelas sekaligus: kelas 1 dan kelas 2. Terdapat 4 guru kelas, 1 guru agama, 1 tenaga kependidikan, dan 1 kepala sekolah. Mereka bekerja dalam keterbatasan, tapi semangat para guru inilah yang membuat sekolah tetap hidup.
“Kami sangat merasakan kendala perjalanan, apalagi musim hujan seperti sekarang. Keluar masuk sangat sulit karena jalan licin sekali,” katanya.
Lampu Sore Hari, Sinyal dengan Voucher, dan Surau yang Tak Pernah Sepi
Tanjung Balik adalah daerah tanpa listrik PLN dan tanpa sinyal seluler. Masyarakat hanya menikmati cahaya dari listrik tenaga air, itu pun menyala dari sore hingga pagi. Sinyal pun tidak ada. Akses internet hanya lewat WiFi yang bekerja ketika listrik menyala.
Untuk membeli voucher WiFi saja, guru harus menyesuaikan waktu pakai: dua hari untuk durasi 14 jam.
“Alhamdulillah, baru-baru ini sekolah dapat bantuan lampu tenaga surya dari PLN, namanya SUPER SUN,” kata Noni. Sedikit bantuan itu menjadi penyelamat bagi proses pembelajaran.
Dan ketika malam tiba, saat desa kembali sunyi dan hanya suara serangga terdengar, Noni punya tugas lain, mengajar anak-anak mengaji di surau. Sebuah pengabdian yang tak pernah ia hitung sebagai beban.
Di balik seluruh perjuangan itu, harapan Noni dan para guru di Tanjung Balik tidak muluk-muluk.
Menurut Noni, tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah akses jalan dan ketiadaan sinyal seluler. Ia berharap pemerintah dapat memberikan perhatian khusus bagi guru dan masyarakat di daerah terpencil seperti Tanjung Balik Sumiso.
“Kami sangat berharap pemerintah memperbaiki jalan menuju jorong ini, dan menghadirkan sinyal. Itu akan sangat membantu pembelajaran dan komunikasi,” ujarnya.
Tidak banyak yang tahu perjuangan guru-guru di daerah terpencil seperti Tanjung Balik Sumiso. Di saat banyak orang memilih zona nyaman, Noni justru berjalan ke tempat yang jauh dari nyaman. Demi memastikan anak-anak Tanjung Balik tetap punya masa depan.
Dan setiap kali ia menempuh tiga jam perjalanan yang penuh lumpur dan bebatuan, ada sesuatu yang ia bawa melebihi buku, spidol, dan RPP, yaitu cahaya.
Karena kadang, di tempat yang gelap dan jauh dari keramaian, satu guru saja bisa menjadi terang bagi seluruh kampung. (hendri parjiga)




