Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si.*)
BMKG kembali mengeluarkan himbauan kepada masyarakat Sumatera Barat agar meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan banjir bandang.
Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai wilayah di Sumbar mengalami peningkatan curah hujan yang cukup signifikan. Kondisi ini bukan hanya fenomena musiman biasa, tetapi merupakan hasil pertemuan berbagai dinamika atmosfer: fase Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, pola hujan ekuatorial, serta kehadiran siklon tropis Senyar yang baru terbentuk dari bibit siklon 95B di kawasan sekitar Selat Malaka.
IOD negatif menyebabkan perairan Samudera Hindia bagian timur—yang berbatasan langsung dengan pesisir barat Sumatera—mengalami penghangatan. Air laut yang lebih hangat memicu peningkatan penguapan dan menyuplai atmosfer dengan uap air melimpah.
Atmosfer yang kaya uap air ini sangat ideal bagi pembentukan awan-awan konvektif tebal yang menghasilkan hujan lebat dan berdurasi panjang. Dampaknya paling terasa di wilayah barat Indonesia, termasuk Sumatera Barat, yang secara alami memang memiliki curah hujan tinggi.
Di saat yang sama, karakteristik hujan ekuatorial yang menjadi ciri Sumbar turut memperbesar peluang hujan intens. Pergerakan Intertropical Convergence Zone (ITCZ) yang melintasi wilayah ini menyebabkan dua puncak musim hujan dalam satu tahun, biasanya pada Maret–April dan Oktober–November.
Ketika ITCZ berada di atas Sumbar, aktivitas pembentukan awan meningkat dan hujan menjadi lebih mudah terjadi. Tahun ini, fase tersebut berlangsung bersamaan dengan penguatan IOD negatif, sehingga hujan yang turun menjadi lebih sering, lebih intens, dan melampaui rata-rata klimatologis.
Situasi cuaca semakin diperberat oleh terbentuknya siklon tropis Senyar. Setelah berkembang dari bibit siklon 95B, sistem siklon ini menghasilkan pola angin berputar kuat yang menarik massa udara basah dari Samudera Hindia menuju daratan Sumatera bagian barat.
Aliran angin kencang yang bergerak dari laut membawa uap air dalam jumlah besar, sehingga pembentukan awan hujan pekat di sepanjang pesisir barat Sumbar meningkat drastis. Siklon Senyar juga menimbulkan efek tidak langsung berupa hujan lebat, angin kencang, dan kondisi laut yang lebih bergelombang dari biasanya.
Kondisi geografis Sumatera Barat turut memperbesar risiko bencana hidrometeorologi. Wilayah yang didominasi perbukitan dan pegunungan membuat tanah mudah jenuh air saat hujan intens berlangsung, sehingga potensi longsor meningkat signifikan. Banyaknya daerah aliran sungai dengan lereng curam menambah peluang terjadinya banjir bandang ketika hujan ekstrem berlangsung dalam waktu singkat.
Sementara itu, kawasan dataran rendah di kota-kota seperti Padang, Bukittinggi, Solok, dan Payakumbuh rentan tergenang ketika hujan turun berturut-turut, terutama jika sistem drainase kurang optimal.
Dalam kondisi atmosfer yang sangat aktif seperti sekarang, kewaspadaan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Informasi dari BMKG, BPBD, dan pemerintah daerah perlu dipantau berkala untuk mendapatkan peringatan dini cuaca ekstrem.
Warga di daerah rawan banjir, bantaran sungai, serta wilayah yang kerap mengalami longsor harus lebih berhati-hati. Lingkungan permukiman perlu dijaga, termasuk memastikan saluran drainase tidak tersumbat agar aliran air tetap lancar. Bagi masyarakat yang tinggal di lereng atau kaki bukit, pemeriksaan terhadap kondisi tanah dan bangunan menjadi langkah mitigasi penting.
Pertemuan antara pengaruh iklim global, pola hujan lokal, dan dampak tidak langsung dari siklon tropis Senyar menjadikan Sumatera Barat memasuki fase cuaca yang jauh lebih basah dan tidak stabil.
Himbauan BMKG semestinya dipahami sebagai langkah mitigasi dini agar masyarakat lebih siap menghadapi potensi cuaca ekstrem yang kemungkinan besar masih akan berlangsung beberapa hari ke depan. Dengan meningkatkan kewaspadaan, koordinasi, dan kesiapsiagaan, dampak buruk bencana hidrometeorologi dapat diminimalkan.
Dosen Fisika, Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs (13), sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.*)




