Jumat (21/11/2025) malam di Ma’kah, entah kenapa tour leader PT Holiday Bumi Alam Surambi Dolla Indra mengajak saya salat Isya. Saya pikir, salat di tempat jemaah umroh kebanyakan. Ternyata tidak. Indra yang sudah tiga kali membawa jemaah umroh, ingin benar mengajak saya untuk dapatkan sensasi yang tiada duanya: salat dari langit Ma’kah.
Malam itu langit di atas Kota Ma’kah begitu cerah dan tidak bikin gerah. Matahari Ma’kah sore tadi saya lihat naik pelan di balik bukit-bukit granit yang memagari Kota Suci. Udara masih sejuk ketika saya dan Indra melangkah keluar dari penginapan dan menyusuri jalan menuju Abraj Al-Bait.
Dari kejauhan, menara jam raksasa itu menjulang seperti penjaga langit—tegak, anggun, dan seakan memanggil setiap peziarah untuk menengok ke atas.
Sudah lama saya ingin merasakan pengalaman salat dari lantai tinggi menara ini, tempat banyak jemaah bercerita bisa memandang Ka’bah dari balik jendela kaca. Karena baru pertama, tentu pengalaman belum ada. Dan malam itu, saya akhirnya memutuskan: ini saatnya. Tawaran dan ajakan Indra langsung saya sambar.

Memasuki Sang Menara
Melewati pintu masuknya, aroma hotel bintang lima langsung terasa: harum, dingin, rapi, seolah menjadi kontras dari hiruk-pikuk Masjidil Haram yang hanya beberapa meter di bawah sana.
Lift yang saya naiki melaju cepat, angka-angka lantai melompat seperti jarum loncat. Semakin tinggi, perasaan itu semakin aneh—campuran antara penasaran, haru, dan sedikit gemetar. Lalu dilanjutkan dengan lift. Bukan karena ketinggian, tetapi karena saya merasa tengah naik menuju “balkon langit” yang menghadap Ka’bah.
Denting kecil terdengar. Pintu terbuka. Lantai P9.
Ruang salat pria.
Ka’bah dari Jendela Langit
Langkah pertama memasuki ruang salat langsung membuat saya terhenti. Di depan, membentang jendela kaca besar—dan di baliknya, Ka’bah terlihat jelas. Kecil, tapi begitu nyata. Tidak terhalang apa pun. Tidak tertutup oleh lautan manusia. Berdiri sendiri di tengah Masjidil Haram yang tampak seperti miniatur hidup.
Usai salat Isya dan salat jenazah si fulan dan kemudian salat sunat ba’diyah Isya, saya mendekatkan diri ke kaca. Dari sini, Ka’bah tampak seperti titik pusat kehidupan. Orang-orang thawaf terlihat dari atas, berputar seperti arus air yang tak pernah berhenti.
Dari ketinggian ini, gerakan mereka tampak serempak, lembut, dan penuh keteraturan—sebuah tarian spiritual yang tidak pernah tidur.
Saya menarik napas. Rasanya seperti melihat Makkah dari jendela surga.
Ketika Iqamah Berkumandang
Suara iqamah dari Masjidil Haram menyelinap masuk melalui speaker resmi. Benar-benar jelas. Tanpa gema. Tanpa gangguan. Suara imam seperti lebih dekat, lebih tenang, lebih bersih dari yang biasanya saya dengar di pelataran.
Barisan mulai rapi. Karpet tebal warna hijau lumut menyentuh telapak kaki. Dan ketika saya mengangkat tangan untuk takbir, mata saya membayangkan Ka’bah di bawah sana. Ada getaran kecil di dada—sebuah perasaan bahwa saya sedang menyampaikan salat dari “teras langit,” tetapi tetap bersujud kepada Tuhan yang sama, menghadap rumah suci yang sama.
Saat rukuk, pemandangan Ka’bah hilang dari pandangan. Namun ketika berdiri kembali, Ka’bah muncul lagi—diam, hitam, dan megah. Pada sujud berikutnya, air mata saya jatuh tanpa sempat ditahan.
Sujud dari Ketinggian
Ada sesuatu yang berbeda ketika bersujud di sini.
Rasanya dekat. Rasanya jauh. Rasanya kecil.
Rasanya begitu dilihat.
Kontras antara tinggi menara dan rendahnya sujud seakan mengajarkan tentang hakikat manusia: tak peduli setinggi apa kita berdiri, kita tetap harus merendah di hadapan-Nya.
Setelah imam mengucapkan salam, saya tetap duduk sejenak. Berdoa karena sebentar lagi akan ada salat jenazah. Jemaah lain mulai berzikir, ada yang membaca Al-Qur’an, ada yang menatap keluar jendela sambil tersenyum, mungkin sama seperti saya—terharu, bingung, tak percaya.
Pemandangan di luar seperti lukisan hidup: masjid, bukit, gedung-gedung, dan Ka’bah yang menjadi porosnya.
Saya menempelkan telapak tangan ke kaca. Rasanya dingin, tenang, dan entah mengapa terasa sangat dekat dengan tanah haram di bawah sana.
Menelusuri Kompleks Abraj Al-Bait
Selesai berdoa, saya dan Indra rehat sejenak, menunggu jendela depan mata sepi jemaah. Mencigap situasi aman untuk memotret, Indta mengabadikan saya. Hanya sayang, kamera HP saya kehabisan batrai.
Puas memotret, kami turun ke lantai-lantai lain. Mall lima lantai, restoran internasional, hotel mewah, pusat perbelanjaan, akses langsung ke Masjidil Haram—semua ada di sini. Bangunan ini seperti kota tersendiri, berdiri tepat di bibir Masjidil Haram.
Dan sebelum keluar, saya menengok ke arah atas: jam raksasa dengan kaligrafi Allah tertera megah di atasnya. Malam sebelumnya, lampu hijau jam itu menyala terang dan terlihat dari beberapa kilometer. Kini, di siang hari, jam itu seperti menyatu dengan langit biru.
Menutup Hari dengan Rasa Syukur
Ketika saya berjalan keluar menuju pelataran Masjidil Haram, langkah terasa ringan. Entah karena AC menyejukkan tubuh, atau karena hati yang terasa lapang.
Pengalaman salat di Abraj Al-Bait yang memiliki tinggi 601 meter dengan jam berdiameter 43 meter, tentu bukan soal ketinggian, bukan soal kemewahan, dan tentu bukan soal fasilitas saja.
Tetapi tentang bagaimana sebuah ruang modern di langit Makkah dapat membuat seseorang merasa lebih dekat dengan Allah, lebih tenang, dan lebih sadar akan kecilnya dirinya.
Hari itu, saya merasa bukan hanya salat.
Saya seperti diundang melihat Ka’bah dari sudut yang berbeda—sudut yang membuat saya ingin terus kembali, terus rindu, terus mencari alasan untuk datang lagi ke rumah-Nya.
Oya, berikut bisa Anda nikmati puisi:
KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR DARI DOA
Puisi : Yurnaldi
Di kota yang tak pernah tidur dari doa,
aku naik ke sebuah menara
yang meminjam tinggi dari langit
dan meminjam cahaya dari Ka’bah.
Lift melesat seperti zikir yang menembus dada.
Angka-angka lantai meloncat
seperti langkah para peziarah
yang meninggalkan dunia
untuk mencari satu rumah:
rumah yang hitam, sunyi, dan abadi.
Ketika pintu terbuka,
ruang itu menyambutku dengan dingin yang lembut,
karpet seperti hamparan awan,
dan jendela kaca yang besar,
sebesar rindu yang tak pernah selesai.
Di balik kaca itu,
Ka’bah berdiri kecil
namun terasa lebih dekat daripada detak jantungku sendiri.
Ia tak bergerak,
tapi segala gerak manusia mengalir ke arahnya—
gelombang thawaf yang berputar
seperti waktu yang tak pernah henti.
Aku berdiri.
Melihat Ka’bah dari ketinggian
adalah seperti melihat diriku sendiri dari atas:
betapa kecil, betapa rapuh,
betapa mudah hilang di antara jutaan doa.
Iqamah berkumandang.
Suara imam menembus ruang ini
dengan kejernihan yang tak pernah kudengar
di halaman Masjidil Haram yang padat.
Suara itu masuk ke dada
seperti cahaya pertama Subuh
yang menyapu lembut punggung bukit-bukit Makkah.
Aku mengangkat kedua tangan.
Dan pada takbir itu
Ka’bah seakan terangkat bersamaku,
menjadi lebih besar, lebih terang,
atau mungkin hatiku yang mengecil
hingga ia tampak semakin agung.
Ketika rukuk, Ka’bah hilang dari pandangan—
tapi ia muncul kembali
pada setiap berdiri yang gemetar.
Seperti mengajariku
bahwa hilangnya sesuatu
kadang hanya untuk memperjelas kerinduannya.
Pada sujud pertama
aku mencium karpet tebal
tapi yang terbayang adalah tanah haram
yang pernah diinjak Ibrahim dan Ismail.
Sujud itu terasa panjang,
lebih panjang dari jarak ratusan meter
antara menara ini dan Masjidil Haram di bawah sana.
Di antara dua sujud,
ada jeda sunyi
di mana air mata turun
tanpa izin dari pikiranku.
Barangkali karena aku berdiri terlalu tinggi
tapi merasa terlalu rendah.
Barangkali karena doa-doa lama
tiba-tiba mendesak ingin lahir
di antara bisikan zikir.
Ketika imam mengucap salam,
aku tetap diam.
Jendela itu—
jendela langit itu—
masih memamerkan Ka’bah
yang kini tampak lebih kecil,
lebih jauh,
atau mungkin semakin dekat
ke tempat paling sunyi dalam diriku.
Aku menempelkan telapak tangan ke kaca.
Dingin.
Dalam.
Seperti menyentuh wajah malam
yang belum datang.
Di luar ruang salat,
koridor menara membawa langkahku
ke restoran, toko, cahaya, suara,
lalu ke jam raksasa
yang menabuh waktu
untuk seluruh kota suci.
Tapi hatiku tertinggal di lantai sembilan,
di depan jendela kaca itu,
tempat aku untuk pertama kalinya
melihat Ka’bah bukan dari bumi
melainkan dari ketinggian
yang membuatku semakin mengerti
betapa rendahnya manusia,
betapa tingginya rahmat.
Ketika menuruni lift,
aku merasa seperti turun dari mimpi.
Namun di halaman Masjidil Haram,
ketika kulihat Ka’bah dari tanah,
aku tahu:
pengalaman tadi bukan mimpi.
Itu adalah kenyataan
yang diberi cahaya,
ditinggikan,
dan dipulangkan
ke dalam dadaku.
Dan sejak hari itu,
aku selalu tahu
bahwa kadang-kadang,
untuk merendahkan hati,
kita perlu melihat Ka’bah
dari langit.
Ma’kah, 21/11/2025
Wartawan Utama, Penulis Esai, Penulis Buku, Seniman dan Sastrawan.*)




