Tiga Pelatih Beda Basic: Kickboxing Sumbar Hantam Kejurnas dengan 14 Medali

Dari kiri: William Kennedy Jalmav, Milio Oner, Zelly Heriyanto dan Firman Syafe'i. (Foto KBI Sumbar)

Di balik deretan medali yang dibawa pulang Kontingen Kickboxing Sumbar dari Kejurnas 2025, ada kisah menarik tentang tiga sosok yang bekerja di belakang layar.

Mereka bukan berasal dari latar belakang yang sama, bukan pula dari jalur pembinaan tunggal. Namun, justru perbedaan itulah yang menjadi kekuatan.

Mereka adalah Firman Syafe’i, William Kennedy Jalmav, dan Zelly Heriyanto. Trio pelatih itu yang meramu strategi dari tiga dunia berbeda: wushu, tinju, dan karate.

Kejurnas Kickboxing 2025 yang digelar 28 November – 3 Desember di TMII Jakarta adalah ujian nyata. Tidak hanya bagi atlet, tetapi juga bagi harmoni tiga pelatih ini. Mereka harus menyatukan pandangan, merinci strategi, membagi peran, hingga memastikan setiap atlet turun dengan kondisi terbaik.

Firman Syafe’i, mantan atlet wushu yang kini mengabdi penuh untuk kickboxing, menjadi sosok penyeimbang. Ia mengatur ritme latihan, mengajarkan bagaimana membaca lawan, sekaligus memastikan mental atlet tetap terjaga.

“Saya selalu tekankan, jangan pernah takut. Kalau sudah latihan keras, masuk ring itu tinggal menjalani. Dan hasil kemarin menunjukkan anak-anak berani tampil habis-habisan,” tegas Firman.

William Kennedy Jalmav, yang dibesarkan oleh disiplin tinju, mengambil peran mengasah presisi pukulan dan ketahanan tubuh atlet-atlet Sumbar. Baginya, kickboxing adalah seni meramu tenaga, ritme, dan kontrol emosi.

“Saya selalu bilang ke atlet, jangan cuma kuat, tapi harus cerdas. Kejurnas ini pembuktian bahwa kerja keras yang sederhana tapi konsisten itu tidak pernah bohong,” ujar William, tersenyum kecil.

Sementara itu, Zelly Heriyanto datang dengan sentuhan karate, disiplin, timing, dan permainan kaki menjadi sumbangsih utamanya. Dialah yang memastikan perpaduan serangan dan pertahanan atlet tetap stabil, tidak emosional, dan tetap terukur.

“Kickboxing itu bukan sekadar adu cepat. Ada filosofi bertarung yang harus dipahami. Saya senang anak-anak mau belajar dan merendahkan ego untuk menerima teknik dari berbagai latar,” katanya.

Dengan komposisi latar belakang yang unik itu, Sumbar tampil penuh percaya diri. Mereka tidak sekadar datang sebagai peserta, tapi sebagai tim dengan karakter kuat. Hasilnya bukan main. Empat emas, tiga perak, dan tujuh perunggu mereka bawa pulang.

Jumlah itu bukan sekadar angka. Ia adalah simbol keberanian, kerja sama, dan kemampuan menyesuaikan diri.

Bagi trio pelatih ini, Kejurnas 2025 hanyalah permulaan. Mereka sudah mulai memikirkan agenda besar, PON 2028 di NTB–NTT.

“Kami berharap kolaborasi ini bertahan lama. PON 2028 itu target besar, dan Kejurnas 2025 ini baru pemanasan. Potensi anak-anak Sumbar besar sekali,” kata Firman menutup percakapan.

Dalam dunia olahraga, hasil tidak pernah datang dari satu kepala. Ia lahir dari banyak tangan, banyak pikiran, dan banyak pengorbanan. Trio pelatih Sumbar membuktikan bahwa perbedaan bukanlah hambatan, tetapi modal emas jika dikelola dengan hati.

Dan dari Jakarta, dari GOR Padepokan Silat TMII, mereka membawa bukan hanya medali, tetapi juga kepercayaan diri baru bahwa Kickboxing Sumbar punya masa depan yang cerah. (hendri parjiga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *