Oleh : Lutfi Dwi Agustin*)
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam memperoleh informasi, media sosial telah menjadi panggung politik baru. Mulai dari Twitter atau yang kini dikenal sebagai X Instagram, TikTok, hingga Facebook, yang tidak lagi sekadar menjadi tempat berbagi foto dan hiburan, melainkan arena pertarungan gagasan, tempat masyarakat menyampaikan suara, bahkan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Namun, di balik derasnya arus informasi dan kebebasan berpendapat itu, muncul pertanyaan yang mengugah: Apakah kritik terhadap pemerintah di media sosial merupakan wujud partisipasi politik yang sehat, atau justru menjadi ancaman bagi stabilitas bangsa?
Menurut Almond dan Verba dalam The Civic Culture (1963), partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam aktivitas politik untuk memengaruhi keputusan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika definisi ini digunakan, maka aktivitas berpendapat dan mengkritik pemerintah di dunia maya sesungguhnya dapat dilihat sebagai bentuk partisipasi politik yang modern. Masyarakat kini tidak lagi pasif; mereka menjadi bagian dari proses pengawasan terhadap kekuasaan hanya dengan satu sentuhan di layar ponsel.
Media sosial membuka ruang yang egaliter. Tidak lagi peduli jabatan, latar belakang, atau status sosial, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakan pandangannya. Seorang mahasiswa di pelosok dapat mengkritisi kebijakan menteri, seorang buruh bisa memprotes harga kebutuhan pokok, dan seorang ibu rumah tangga dapat menulis keresahannya tentang pendidikan anaknya.
Semua ini bisa viral, menyebar luas, dan berpotensi mengubah arah kebijakan. Seperti yang dikatakan oleh Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), ruang publik adalah tempat di mana warga berdialog secara rasional dan kritis terhadap kekuasaan. Kini, ruang publik itu hidup dalam bentuk digital di linimasa, kolom komentar, dan tagar yang menggema di dunia maya.
Namun, kebebasan tentu selalu datang dengan risiko. Di tengah derasnya arus informasi, batas antara kritik dan kebencian sering kali kabur. Media sosial bisa menjadi wadah edukasi politik, tetapi juga bisa berubah menjadi arena persekusi, fitnah, dan polarisasi. Di balik layar ponsel, orang mudah terprovokasi, menyebarkan ujaran kebencian, atau termakan hoaks yang dibungkus rapi dalam narasi politik.
Di sinilah persoalan menjadi lebih rumit. Siapa yang harus bertanggung jawab agar kebebasan berekspresi tidak berubah menjadi kebebasan untuk menyerang? Apakah pemerintah harus turun tangan dengan regulasi yang tegas, ataukah platform media sosial yang harus memperketat moderasi? Ataukah justru tanggung jawab itu terletak pada kesadaran individu pengguna? Regulasi yang terlalu ketat bisa mengekang demokrasi, tetapi kebebasan tanpa batas juga berpotensi menimbulkan kekacauan.
Selain itu, fenomena echo chamber membuat diskusi politik di media sosial kerap kehilangan makna. Banyak orang hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa, menciptakan ruang gema di mana suara berbeda justru tersingkirkan.
Akibatnya, ruang digital yang seharusnya menjadi tempat pertukaran ide malah berubah menjadi arena saling serang antar kelompok. Ironisnya, tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di ruang digital ini. Masih banyak yang tertinggal dalam akses internet dan literasi digital, sehingga partisipasi politik di media sosial cenderung didominasi kalangan tertentu saja terutama kelas menengah di perkotaan.
Kritik sejatinya bukanlah ancaman, melainkan napas dari demokrasi itu sendiri. Dalam negara yang sehat, pemerintah justru membutuhkan kritik untuk melihat celah yang mungkin luput dari pandangan mereka. Soekarno pernah berkata, “Setiap kritik adalah bahan bakar bagi revolusi menuju kemajuan.”
Namun, bahan bakar ini bisa menjadi api yang membakar bila digunakan tanpa kendali. Karena itu, literasi digital dan etika berkomunikasi menjadi pondasi utama agar kebebasan di dunia maya tetap membawa manfaat, bukan malapetaka.
Kritik yang dilandasi data, disampaikan dengan cara yang santun, dan ditujukan untuk membangun adalah tanda kedewasaan politik warga negara. Sebaliknya, hinaan, fitnah, dan ujaran kebencian hanyalah bentuk frustrasi yang menodai demokrasi. Media sosial semestinya menjadi ruang dialog, bukan arena pertempuran ego.
Akhirnya, kritik di media sosial akan selalu menjadi pedang bermata dua. Ia bisa menjadi kekuatan rakyat yang mengawasi kekuasaan, atau justru sumber kegaduhan yang merusak sendi-sendi persatuan.
Tugas kita sebagai warga digital adalah memastikan pedang itu digunakan dengan bijak untuk menajamkan kesadaran, bukan untuk saling melukai. Sebab, demokrasi yang sejati bukan hanya tentang kebebasan berbicara, melainkan tentang kemampuan untuk berbicara dengan bijaksana. []
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas*)