“Ketupat Kandangan: Doa yang Dimasak di Atas Api Cinta”

Ketupat kandangan dengan balutan aroma rempah dan kenangan.(foto; ist)

Essay : Nurul Jannah*)

Menelusuri Aroma Rasa dan Sejarah di Banjar Baru, Kalimantan Selatan

Ada perjalanan yang tak hanya menapaki jalan, tapi menyelami nadi kehidupan yang berdenyut di antara aroma rempah dan kenangan.

Dan pagi itu, di Banjar Baru yang lembut berkabut, aku menemukan cinta yang bisa dicicipi. Cinta yang lahir dari tungku, dari sabar, dari santan yang berdoa pelan di dalam panci besar.

Banjar Baru, Ketika Aroma Menyapa Seperti Salam

Langit masih pucat, udara mengembus lembut dengan aroma embun dan tanah yang baru saja terbangun dari doa subuh. Di sudut kota, berdiri warung sederhana tanpa hiasan megah, tapi dari dapurnya mengalun aroma santan dan ikan haruan asap. Harum yang menembus batas waktu dan langsung mengetuk ruang rindu.

Seorang ibu menyambutku dengan senyum seteduh pagi di tepian sungai.

“Silakan. Ketupat Kandangan-nya baru masak. Kuahnya masih bernapas,” katanya, sambil mengangkat sendok besar dari periuk yang bergolak lembut.

Uap panas mengepul, menggulung di udara, membawa pesan dari masa silam, bahwa di tanah Banjar, rasa bukan dibuat untuk dijual, tapi untuk diwariskan.

Jejak Rasa yang Dimasak oleh Sejarah

Ketupat Kandangan bukan hanya kuliner, ia adalah nyawa tradisi yang hidup di antara tangan-tangan ibu Banjar sejak abad ke-19.

Lahir di tepian Sungai Amandit, ketika rakyat Hulu Sungai Selatan memasak beras dalam anyaman janur, menyatukannya dengan ikan haruan sungai yang diasap perlahan di atas bara kayu galam.

Asap itu bukan semata pengawet rasa. Ia adalah roh kesabaran. Santan yang mendidih di tungku, adalah cara orang Banjar berdoa tanpa suara. Setiap adukan kuah adalah tasbih, setiap tetes minyak yang mengapung adalah tanda syukur.

“Semoga setiap suapan membawa berkah, bukan hanya mengenyangkan,” begitu doa yang diam-diam menyertai setiap periuk yang bergolak di dapur mereka.

Dari kesunyian dapur-dapur itu, lahirlah legenda kuliner yang melintasi generasi, yaitu Ketupat Kandangan. Perpaduan rasa, sejarah, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Ritual Rasa dan Kesabaran

Ketupatnya padat tapi lembut, seperti hati yang matang oleh perjalanan. Kuahnya berwarna gading, kental, gurih; hasil pernikahan antara santan, rempah, dan waktu yang tidak tergesa.

Di atasnya terbaring ikan haruan asap; kulitnya gelap, dagingnya putih, aromanya menggetarkan jiwa seperti lagu yang datang dari masa lalu.

Aku menatap piring itu lama. Setiap tetes kuah seperti kisah yang belum selesai diceritakan. Setiap suapan seperti meneguk ingatan dari generasi yang sabar.

“Bu, Ketupat Kandangan ini nggak bisa dimasak buru-buru,” kata sang penjual dengan hati-hati.

“Kalau api terlalu besar, santannya pecah. Kalau terlalu kecil, rasanya hilang. Begitu juga hidup. Semua butuh keseimbangan.”

Aku hanya mampu tersenyum. Betapa dalamnya falsafah yang lahir dari periuk sederhana tersebut.

Pagi di Banjar Baru: Antara Asap dan Doa

Matahari mulai menyingkap kabut, menerangi wajah-wajah yang sibuk menikmati sarapan di warung itu. Tawa, suara sendok, dan aroma santan berpadu menjadi harmoni sederhana yang menenangkan.

Aku menyendok perlahan. Rasa gurih santan, asin ikan, dan lembutnya ketupat berpadu menghadirkan rasa lezat luar biasa.

Ibu Asih, seorang pelanggan yang duduk di ujung meja tersenyum ramah, sambil menatap piringnya yang nyaris kosong.

“Kalau bukan di Banjar Baru, rasanya takkan seenak ini, Bu,” katanya menegaskan.

“Di sini, makanan dimasak bukan dengan waktu, tapi dengan hati.”

Dan aku paham, di Banjar Baru, setiap panci adalah kitab kehidupan yang dibaca dengan aroma.

Nasi Kuning Kandangan: Saudara dalam Cahaya

Tak jauh dari sana, aroma kunyit menari di udara. Itulah Nasi Kuning Kandangan, saudara seperjalanan dari Ketupat Kandangan yang berkuah santan.

Nasinya lembut, berwarna emas matahari pagi, disajikan dengan serundeng kelapa, telur rebus, dan rendang Banjar yang merah gelap berkilau : manis, pedas, dan menggoda iman siapa pun yang mencium harumnya.

“Kalau pagi, kami makan nasi kuning. Siangnya baru Ketupat Kandangan,” ujar Bu Anna, seorang ASN yang menjadi pelanggan tetap Ketupat Kandangan, sambil tersenyum kecil.

Satu kalimat sederhana, tapi di baliknya tersembunyi filosofi hidup luar biasa; bahwa setiap waktu punya rasa, setiap rasa punya makna.

Dialog Antara Lidah dan Waktu

“Bu, gimana rasanya?” tanya Bu Mirah, sang pelayan sambil menatap penuh harap.

Aku menatapnya balik, lalu menjawab pelan setengah berbisik, “Rasanya seperti pulang ke rumah halaman. Banyak nostalgia disana.”

Ia terdiam sejenak, lalu berkata dengan penuh haru.

“Kalau sudah bisa bilang begitu, berarti Ibu sudah jadi bagian dari kami. Di Banjar, tamu tak hanya singgah, namun menetap di hati.”

Dan di tengah aroma santan yang terus berputar di udara, aku tahu, aku baru saja disambut oleh sejarah, bukan hanya oleh rasa.

Mengapa Harus ke Banjar Baru

Karena di kota ini, kuliner bukan hiburan, tapi ibadah kecil yang diwariskan dengan cinta. Ketupat Kandangan mengajarkan kesetiaan pada waktu dan kelembutan dalam kerja.

Bahwa yang lezat bukan karena kemewahan, tapi karena kesungguhan tangan yang berdoa di balik dapur. Bahwa rasa sejati tidak tinggal di lidah, tapi berakar di hati.

Setiap sendok kuahnya adalah narasi panjang tentang sungai yang tak pernah berhenti mengalir, tentang perempuan Banjar yang memasak di bawah cahaya lampu minyak, tentang kehidupan yang terus bergulir di antara asap dan doa.

Ziarah ke Dapur Cinta

Ketika langkahku meninggalkan warung itu, matahari telah tinggi. Tapi di dadaku, hangatnya santan masih berdenyut nikmat di lidahku. Aroma ikan asap dan serai masih berputar di udara, seolah memanggil: “Kembalilah bila hatimu mulai penat.”

“Rugi kalau sudah menginjak Banjar Baru tanpa meneguk kuah Ketupat Kandangan,” kata Ibu Mira, seorang pelanggan menepuk pundakku pelan.

“Di setiap suapannya, ada doa, dan di setiap uapnya, ada cinta.”

Dan aku tahu, ia tak berlebihan. Karena Ketupat Kandangan bukan makanan biasa, ia adalah surat cinta yang dimasak dengan sabar, dan disajikan dengan hati yang bergetar oleh kenangan.

Setiap orang yang duduk di warung itu tak hanya singgah untuk makan semata. Mereka sedang menziarahi sejarah, meneguk kesetiaan, dan merasakan bagaimana doa bisa menjelma rasa.

Sebab di Banjar Baru, ketika santan mendidih di tungku, itulah saat doa-doa naik ke langit, dalam wujud aroma, dalam wujud rasa, dalam wujud cinta yang tak terucap❤‍🔥🌹🎀.

Banjar Baru, 8 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *