Essay : Nurul Jannah*)
Ketika Sungai Menjadi Halaman Rumah
Tidak semua kota hidup dari aspal dan beton. Sebagian, seperti Banjarmasin, justru tumbuh dari air, mengalirkan kehidupan lewat setiap arusnya, dan menumbuhkan cinta lewat denyut sungainya.
Di kota yang dikenal sebagai Bumi Seribu Sungai, aku menemukan bahwa air bukan hanya elemen alam, melainkan urat nadi kehidupan, tempat manusia dan alam berdialog tanpa suara.
Dan di antara aliran Sungai Martapura yang tenang, ada satu ruang kecil yang menjadi panggung bagi kehangatan, kuliner, dan persahabatan. Ia adalah Pasar Terapung Taman Siring Banjarmasin.
Taman Siring: Di Atas Air, Hidup Bernyawa”
Siang itu, matahari menetes terang di permukaan sungai. Aku melangkah ke tepian Siring Tendean, hanya lima menit dari Menara Pandang, tempat air, warna, dan kehidupan bersatu.
Di depanku, perahu-perahu kecil berlabuh, menyajikan aroma kuliner khas Banjar yang menggoda hati. Di antara mereka, ada satu yang mencuri pandangku. Warung Soto Abdullah, warung terapung legendaris yang kini menjadi ikon rasa di atas air.
“Silakan duduk, Bu, sotonya baru matang,” sapa seorang bapak dengan logat Banjar yang hangat.
Aku duduk di bangku kayu sempit di atas perahu yang bergoyang lembut. Uap Soto Kuin Banjar mengepul, kuah kuningnya harum berpadu dengan semilir angin sungai.
Satu sendok pertama, dan dunia seolah melambat. Rasa rempahnya tak hanya lezat; ia membawa cerita, doa, dan kasih sayang yang tumbuh dari tangan-tangan sederhana.
Hadir Hanya Tiga Hari, Titik Cinta di Tengah Kota
Pasar Terapung ini hanya buka di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi. Seolah ingin berpesan bahwa hal-hal indah memang tak selalu hadir setiap hari, tapi selalu meninggalkan jejak dalam hati.
Jumat itu, pukul dua siang, deru mesin kelotok mulai terdengar. Para pedagang datang hampir bersamaan, membawa hasil kebun, bunga, dan senyum. Perahu demi perahu bersisian, canda bahagia berpadu dengan cipratan air, menciptakan irama kehidupan yang menenangkan.
Seorang ibu muda yang menjual buah tersenyum kepadaku, “Kami di sini tidak hanya jualan, Bu. Kami saling jaga, saling sapa. Kalau tak datang seminggu, kami saling rindu.”
Aku menatap wajahnya, basah oleh peluh namun terlihat bahagia. Di sungai itu, aku melihat persaudaraan yang tak butuh perjanjian, hanya rasa yang tulus dan saling percaya.
Kuliner dan Kehangatan yang Tak Akan Pudar
Warung-warung apung seperti Soto Abdullah bukan hanya sebagai tempat makan biasa, melainkan tanda cinta antara manusia dan sungai.
Soto Kuin Banjar yang gurih, Laksa yang lembut, Sate Ayam Banjar yang manis dengan aroma arang, dan Teh Poci yang diseduh perlahan di atas air; semuanya menjadi perayaan kecil atas syukur dan kehidupan.
“Teh di sini beda, Bu,” kata seorang pemuda sambil menyodorkan cangkir kecil.
“Kami seduh pakai air sungai yang sudah dimasak, rasanya… kayak berada di langit ke tujuh.”, kelakarnya penuh bahagia.
Aku ikut bahagia melihat kelakarnya. Tanpa diminta lagi, aku pun menyeruput sajian teh itu perlahan.
Benar, nikmat sekali. Hangatnya bukan hanya dari teh, tetapi dari ketulusan orang-orang yang menyajikannya. Dan, Banjarmasin adalah kota yang mengajarkan bagaimana cinta bisa hadir lewat uap teh dan rempah.
Jejak Iklan yang Tak Pernah Hilang
Sambil menatap air, ingatanku melayang ke masa lalu. Dulu, iklan “RCTI Oke” di tahun 1990-an pernah mengabadikan Pasar Terapung Kuin, Banjarmasin. Potret ibu-ibu Banjar tersenyum sambil menjajakan buah dari perahu menjadi wajah Indonesia nan lembut dan penuh kedamaian.
Kini, semangat itu dihidupkan kembali lewat Pasar Terapung Taman Siring, agar masyarakat bisa merasakan keajaiban pasar apung tanpa harus jauh menyusuri pedalaman.
“Kami bangga, Bu. Karena lewat pasar ini, anak-anak muda tahu bahwa sungai bukan hanya tempat berkumpulnya air, tapi tempat lahirnya sejarah dan cinta,” ujar seorang Bapak di dermaga, matanya menerawang ke sungai yang berkilau.
Benar kata si Bapak, air di sini bukan pembatas, tapi perekat jiwa.
Wajah-wajah yang Menghidupkan Sungai
Setiap perahu membawa kisahnya sendiri. Ada ibu sepuh yang menyiapkan bubur Banjar dengan tangan gemetar namun penuh kasih, ada anak muda yang cekatan menawarkan laksa, dan ada seorang kakek yang menyalakan api kecil di atas perahu, memasak rawon sambil bersenandung pelan.
Mereka hidup dengan sederhana, tapi hatinya luas seperti sungai yang mereka cintai. Tak ada ambisi berlebihan, hanya syukur yang mengalir dari hari ke hari.
Cara Menuju Pasar Terapung Taman Siring
Dari Jakarta, terbanglah menuju Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru. Lanjutkan perjalanan sekitar 40 menit ke pusat kota Banjarmasin.
Pasar Terapung Taman Siring berada tepat di tepi Sungai Martapura, tak jauh dari Menara Pandang dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
Nikmatilah suasananya, dengarlah canda tawa bahagia warga, dan biarkan hatimu belajar tentang kesederhanaan yang menenangkan.
Selain menikmati kuliner, kamu bisa menyusuri sungai dengan kelotok, berfoto di ikon Patung Bekantan, menjelajahi Kampung Sasirangan, atau sekadar duduk di tepi air, merenung tentang betapa indahnya hidup ketika selalu selaras dengan alam.
Persahabatan di Atas Air
Sore mulai turun ketika aku meninggalkan pasar itu.
Kelotokku melaju pelan, meninggalkan riak kecil yang memantulkan cahaya jingga. Aku menoleh ke belakang, melihat perahu-perahu yang masih menambatkan kehidupan di atas air.
Seorang bapak paruh baya melambaikan tangan, “Bu, jangan lupa datang lagi. Sungai ini selalu menunggu.”
Aku tersenyum, menatapnya hingga selesai merapatkan perahunya di Dermaga.
Air Martapura berkilau lembut seperti kaca, dan dalam pantulannya, aku melihat wajah manusia-manusia yang mencintai hidup dengan cara paling indah.
Hidup tak perlu besar untuk berarti, cukup dijalani dengan cinta, syukur, dan kesetiaan pada alam.🌹❤🔥🎀
Bumi Allah, 14 Oktober 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)